BONGKAR TUNTAS REZIM ARAB SAUDI DAN KEBIJAKANNYA BAGIAN 2

Krisis: Minyak dan Suriah

Dalam penilaian obyektif mana pun jelas terlihat sejak dulu kalau situasi ini – baik secara domestik mau pun eskternal – tidak mungkin dipertahankan. Meski pun pengincaran Saudi akan posisi kepimpinan Islam pasca-1980-an diperkuat sementara oleh legitimasi Al-Saud di dalam Kerajaan, harga yang harus dibayar adalah bertambahnya kekerasan di regional Arab Saudi dan bertumbuhnya sentimen Jihadis berbahaya di dalam negeri. Namun pada periode 2014-2015 terjadi dua peristiwa yang mendorong situasi ini menjadi krisis nyata.

Jatuhnya harga minyak pada 2014

Yang pertama adalah jatuhnya harga minyak yang terjadi pada pertengahan 2014. Ada masa di mana Saudi sempat berpikir bahwa mereka tidak hanya dapat melewati masalah ini namun bahkan dapat membalikkan keadaan sehingga mereka akan diuntungkan dengan menggunakan jatuhnya harga minyak untuk melakukan price out (memaksa kompetitor berhenti berbisnis dengan menawarkan harga yang lebih rendah atau diskon – penerjemah) produsen shale (minyak yang didapat dari hidrogenasi serpihan batu sedimen – penerjemah) di AS. Namun pada tahun 2016 tampaknya tekanan sosial di dalam Arab Saudi yang disebabkan oleh turunnya harga minyak menjadi terlalu besar, memaksa Saudi pindah haluan. Sejak saat itu Saudi bekerja sama dengan produsen minyak lainnya – terutama dengan Rusia – untuk menstabilkan harga minyak, yang tetap jauh di bawah harga pra-2014. Saya juga harus mengatakan bahwa saya selalu membantah teori yang dikenal luas bahwa Saudi sengaja menghancurkan harga minyak pada tahun 2014 atas permintaan AS untuk menghancurkan stabilitas Rusia. Bukan saja tidak ada yang menjelaskan kenapa Saudi mau saja menjalani permintaan AS tersebut, namun usaha Saudi yang makin panik sejak tahun 2016 untuk meningkatkan harga minyak justru menunjukkan betapa terbatasnya kontrol mereka terhadap harga minyak. Dalam kasus ini, sebagaimana yang bisa kita lihat, turunnya harga minyak menyebabkan kesulitan bagi Arab Saudi jauh lebih besar dibanding kesulitan yang dialami oleh Rusia. Sementara ekonomi Rusia yang besar dan beragam dengan cepat dan mudah menyesuaikan dengan turunnya harga minyak, Saudi-lah – yang jauh lebih tergantung pada harga minyak dibanding Rusia – yang masih berjuang. Siapa pun yang punya pengetahuan mengenai kedua negara ini pada tahun 2014 pastilah telah mengantisipasi hal tersebut. Hal ini adalah kesaksian akan betapa butanya mereka sehingga mereka tidak mampu mencegahnya.

 Kekalahan di Suriah

Peristiwa kedua yang terjadi setelah 2014 yang mengguncang Saudi adalah kekalahan pemberontak Jihadis yang disokong Saudi di Suriah setelah adanya intervensi Rusia. Di sini harus dikatakan bahwa tidak hanya Arab Saudi sangat berkomitmen dalam pemberontakan tersebut, tapi juga salah satu pangeran Saudi garis keras yang terlibat mendukung adalah tidak lain Pangeran Salman bin Abdul-Aziz Al-Saud, yang sekarang menjadi Raja Salman, Raja Arab Saudi, dan ayah dari Putra Mahkota Muhammad bin Salman.


Tidak hanya kekalahan ini berarti bertahannya – bahkan menguatkan – pemerintahan Assad di Suriah yang hendak dihancurkan Saudi, hal ini juga berarti meningkatnya kekuatan dan pengaruh musuh Arab Saudi dan sekutu Presiden Assad: Republik Islam Iran. Yang makin memperberat kegagalan tersebut adalah berbalik arahnya salah satu sekutu dengan kekuatan Sunni besar lainnya di Timur Tengah – Turki – yang juga mengalami kekalahan di Suriah seperti Arab Saudi, yang merespon kekalahan tersebut dengan memperbaiki pagarnya dengan pemenang perang Suriah: Rusia dan Iran.

Arab Saudi yang sampai baru-baru ini merupakan pusat dari jaringan negara-negara Sunni, sekarang harus menyaksikan bagaimana dua dari negara-negara Sunni terkuat – Turki dan Pakistan –menjadi lebih bersahabat dengan musuh mereka, Iran, di mana Iran dengan pertolongan Rusia sekarang berada dalam proses membentuk persekutuan regional dengan Suriah, Irak, dan Libanon, yang berpotensi menjadi persekutuan yang kuat, yang dipandang oleh Arab Saudi sebagai ancaman terhadap dirinya.

Muhammad ibn Salman; Respon Terhadap Krisis

Kegagalan dan krisis yang dialami Saudi merupakan dasar dari aksi-aksi Muhammad bin Salman. Aksi-aksinya semenjak dirinya muncul tiba-tiba setelah suksesi ayahnya Raja Salman pada Januari 2015 tidak tampak sebagai program reformasi yang telah dipikirkan secara matang. Malahan aksi-aksinya tampak sebagai aksi yang impulsif dan tidak bijaksana dari seorang anak muda tak berpengalaman dengan tujuan membalikkan kekalahan yang baru saja dialami oleh Arab Saudi, sehingga bisa memulihkan posisi Arab Saudi seperti sedia kala sebelum mengalami kekalahan tersebut.


SELANJUTNYA






Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.